Jakarta, | mmcnews.id, – Keresahan Juris Polis Institut (JPI) terkait kebebasan daerah untuk mengurus keuangan akan terdegradasi dengan adanya ketentuan evaluasi perda dan Raperda terkait pajak dan retribusi daerah kemudian melahirkan tema diskusi “Diskursus Pengaturan Pajak dan Retribusi Daerah Pasca Terbitnya Undang-Undang Cipta Kerja dalam Konsep Otonomi Daerah”pada Sabtu, 29 Mei 2021.
Acara Ini diisi oleh para Birokrat dan Pakar di bidangnya yakni Dr. Hendriwan, M.H., M.Si (Direktur Pendapatan Daerah, Ditjen Bina Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri RI), Bimantara WIdyajala, S.H. Ak., MSF, CIA, CFE, CRMA (Direktur Kapasitas dan Pelaksanaan Transfer, Ditjen Perimbangan Keuangan, Kementerian Keuangan RI), Dr. Indra Perwira, S.H., M.hum. (Pakar Hukum Tata Negara Universitas Padjajaran) dan Dr. Harsanto Nursadi, S.H., M.Si. (Pakar Hukum Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, Universitas Indonesia) dan acara ini dipandu oleh Mohammad Ali Haidar, S.H. selaku Direktur Departemen Reformasi Kebijakan Publik, Juris Polis Institute.
Ruh UU Ciptakerja sejatinya adalah untuk menyederhanakan regulasi dan menciptakan iklim berusaha dan investasi yang berkualitas bagi para pelaku bisnis termasuk UMKM dan investor asing. Sektor Perpajakan menjadi sorotan JPI dalam mengkaji terkait bagaimana Peraturan Pelaksana dari UU Ciptakerja yakini PP Nomor 10 tahun 2021. Jika ditelaah secara singkat terdapat tiga klasifikasi 1. Adanya keinginan pemerintah untuk menciptakan pemerataan dalam hal pendapatan, 2. Keinginan daerah untuk mandiri dalam meningkatkan pendapatan daerah, 3. Pengusaha yang membutuhkan kemudahan dalam izin investasi, bagaimana ketiga hal ini dapat beriringan dalam pelaksanaan aturan baru. Tentu saja sebagai masyarakat yg tunduk pada konstitusi dan pemerintah, kita bersama sama mengharapkan undang-undang yg diinisiasi oleh pemerintah tersebut merupakan alat negara melaksanakan tujuannya, yakni memajukan kesejahteraan umum bagi seluruh rakyat Indonesia.
Hendriwan menyatakan Dalam hal pelaksanaan penyederhanaan perizinan berusaha menyebabkan berkurangnya Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang bersumber dari Pajak dan Retribusi, Pemerintah Pusat dapat memberikan dukungan insentif anggaran bagi Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dukungan insentif anggaran bagi Pemerintah Daerah dapat diberikan berupa transfer ke daerah dengan mekanisme Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara (APBN) yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bimantara menyatakan, latar belakang lahirnya UU Ciptakerja merupakan solusi atas permasalahan Easy Of Doing Business EODB di Indonesia, selain itu adanya kewenangan Kementerian Keuangan dan Kemendagri dalam evaluasi Perda tentunya tetap menghormati asas otonomi daerah khususnya dalam PDRD, adanya pembagian kewenangan dalam UU Ciptaker menjadi lebih jelas yakin kemenkeu mengurusi terkait kesesuaian dan kebijakan fiskal nasional. Sementara kemendagri mengevaluasi terkait kepentingan umum dan Peraturan perundangan yang lebih tinggi.
Indra Perwira menyampaikan, Realitas yang ada terdapat UU yang saling tumpang tindih dan menghambat investasi, kemudian solusinya adalah dengan mengubah UU yang menghambat investasi. Otonomi daerah pada realitasnya memperpanjang rekomendasi, karena ada 3 jenjang perijinan yakni Pusat, provinsi dan kab. Kota kemudian disederhanakan dengan mengubah yang menghambat. Kemudian sulitnya izin Amdal, banyak proyek izinnya sudah keluar dan amdalnya belakangan. Kepentingan dalam investasi adalah aspek perburuhan, selama ini Standar UMK itu ditetapkan oleh daerah, sehingga perlu ada UMR standar nasional. Dan inilah yang melatarbelakangi lahirnya UU Ciptakerja. Kemudian indra juga menegaskan Rentang kendali Pemerintah pusat ingin mengendalikan sampai kabupaten kota, padahal gubernur adalah wakil pemerintah pusat di daerah, apa maknanya kalau masih dievaluasi kemenkeu dan kemendagri. Dan perda adalah struktur peraturan yang berlaku di indonesia dan dari UU dan turunannya menjadi kewenangan mahkamah agung dalam membatalkannya. Dan dalam konsep di duniapun suatu undang-undang batal oleh instansi yang berwenang (pengadilan) bukan jenjang pemerintah diatasnya kecuali besiking atau keputusan, perda masuk dalam struktur per UU pengujiannya harus ke pengadilan.
Harsanto menyatakan adanya hubungan kewenangan melahirkan hubungan keuangan. Tidak tepat jika ada UU mensuspend UU lain, Harsanto juga menyatakan adanya debirokratisasi perizinan berusaha yang dilakukan dengan membuat perizinan berusaha dalam satu sistem terpadu dan menyeluruh, memangkas dan mengatur kembali peraturan yang menimbulkan hambatan prosedural dan mendorong upaya berusaha yang baik untuk mencapai lapangan kerja yang optimal. Adanya hal tersebut telah memusatkan sistem perizinan dan mempercepat pengambilan keputusan pemberian izin. Peran Pemda akan menjadi lebih kuat jika: demokrasi diperkuat, adanya kejelasan kewenangan, optimalisasi Desentralisasi fiskal, melaksanakan proyek strategi nasional, adanya kewenangan yang dipangkas dalam bentuk penyesuaian tarif pajak yang ditetapkan oleh Perpres dalam Jangka waktu tertentu. PP 10/2021 merupakan upaya untuk mempermudah pelaksanaan proyek strategis PSN nasional dengan pengendalian pajak dan retribusi daerahnya. Daerah juga perlu mendapat kepastian, tidak hanya mendapat Insentif transfer akibat berkurangnya pajak dan retribusi daerah, akan tetapi mendapatkan kepastian bahwa PSN dapat memberikan manfaat bagi daerah secara langsung.
“JPI`s Talk on Public Policy Issues (JTPPI) merupakan program dari Departemen Reformasi Kebijakan Publik (DRKP) dalam merespon berbagai Issue strategis terkait hukum dan kebijakan publik, kali ini DRKP JPI mengkaji secara komprehensif terkait UU Ciptakerja dan turunannya PP 10 Tahun 2021 terkait Pajak dan Retribusi daerah. Diskusi ini diharapkan dapat membuka Cakrawala pengetahuan bagi masyarakat umum dan mampu menumbuhkan sinergi antar stakeholder dalam pembuatan kebijakan.” Kata Haidar Selaku Direktur Departemen Reformasi Kebijakan Publik Juris Polis Institute.
Direktur Eksekutif Juris Polis Institute, Athari Farhani menyatakan bahwa , tema yang diangkat dalam diskusi kali ini memang lanjutan dari diskusi sebelumnya yang mengusung tema tentang “mengukur dampak reformasi perpajakan pasca terbitnya UU Cita kerja” dan tema yang kedua ini mengenai “diskursus pengaturan pajak retribusi daerah pasca terbitnya UU Cipta Kerja” kami angkat bukan tanpa alasan, mengingat masih banyak hal yang perlu disikapi dan dijawab apalagi pasca terbitnya UU cipta kerja ada konsekuensi yang lahir mengenai pemahaman terhadap urusan pemerintahan konkuren. Disamping itu pula yg perlu digaris bawahi adalah UU Cipta kerja Pasal 158 pusat kembali menjadi executive review terhadap suatu peraturan daerah khususnya mengenai perda pajak retribusi daerah. Padahal itu kewenangan lembaga peradilan, pusat seharusnya hanya terbatas pada Executive Preview saat masih dalam tahap rancangan peraturan daerah.
JPI kedepan akan terus mengkaji lebih dalam lagi mengenai hal ini, dan jika perlu kami juga akan melakukan JR ke lembaga terkait, Pungkasnya.(Red)