Pendamping desa di dalam prosesi pendampingan harus menyadari bahwa desa memiliki kekuasaan dan pemerintahan. Di dalamnya mengandung otoritas dan akuntabilitas untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat. Di sini terkandung makna yang sangat dalam bahwa pendamping desa dihadirkan bukan untuk mengambil alih tugas dan peran pemerintah desa. Akan tetapi menjadi mitra kerja dalam membangun desa untuk kesejahteraan masyarakat dan kemandirian desa.
“Desa, dalam menatap Indonesia Emas di tahun 2045 bertalian erat dengan skema proyek perubahan. Sebuah rancang tematik tentang bagaimana pendamping desa dalam prosesi pendampingan, harus mampu meningkatkan kualitas belanja desa. Pendamping desa tidak sekedar menjalankan rutinitas administratif, menggelar forum pertemuan, namun untuk sebuah nilai dan warna baru sebagai penggerak ekonomi lokal yang mampu menjalankan fungsi proteksi dan distribusi pelayanan dasar kepada masyarakat,” katanya.
Kemendes PDTT berharap, dana desa harus dipergunakan untuk mengembangkan desa sedemikian rupa sesuai dengan karakteristik yang dimiliki. Sehingga menghasilkan pendapatan asli desa, dan bukan sekedar menghabiskan dana desa. Selain itu berdesa bukanlah sebuah pekerjaan yang tertanam pada batas yang kaku seperti pada fisik sarana prasarana saja ataupun habis pakai lainnya dan tidak memberikan efek domino untuk kepentingan peningkatan ekonomi warga.
Dalam rancang bangun dan peta jalan berdesa, yakni melalui Indeks Desa Membangun dan SDGs, telah mampu menghadirkan data mikro berbasis desa, RT, keluarga dan individu. Sebuah terobosan yang sangat besar dan menjadikan desa menjadi rumah data untuk pembangunan Indonesia dan ini telah dibuktikan oleh seluruh pendamping desa khususnya di Jawa Timur.