Bojonegoro – Seni tradisi sudah melewati pahit getir dan manis dalam perjalanannya mempertahankan diri secara alamiah. Melewati kehidupan sosial, politik, ekonomi hingga bagaimana mempertahankan “periuk kesenian” untuk tetap bertahan dengan segala kreativitas.
Mereka sudah adaptif tapi tetap mempertahankan ciri khasnya hingga tahu mana bedanya pertunjukan seni tradisi wayang kulit mana pertunjukan jaranan. Secara kreativitas pertunjukan tentu beda dan penonton mafhum soal itu.
Adaptif adalah persoalan yang rumit dalam egoisme kreativitas tapi hanya yang maestro saja yang bisa menuntaskan, mempertemukan dan mengolah dengan baik.
Adaptif dan idealisme bisa disatukan untuk eksistensi, bisa juga dibedakan pun dipisahkan untuk eksistensi, tapi tetap akan melewati ujian waktu. Apa sih yang tidak diuji dengan waktu ? Nyaris semuanya karena semuanya di dunia pasti yang fana’.
Hanya yang maestro yang memahami itu, hanya yang maestro yang terus bekerja dalam dunia nan sepi kreativitas. Dan para maestro seni tradisi sudah membuktikan tanpa harus manja menuntut pihak lain memfasilitasi. Karena maestro tahu bagaimana bekerja dalam kreativitas, ia punya idealisme, adaptasi, kreativitas, kerja keras dan tentu saja pelestari. Maestro memang punya kemampuan lengkap dalam bidangnya.
Seni tradisi bisa berkelompok dengan baik hingga kini, meski tak dipungkiri ada saja persoalan dalam kelompok. Tapi puluhan tahun kelompok-kelompok kesenian tradisi bertahan hingga sekarang, melewati waktu yang panjang. Ia bertahan dan eksis, menyusuri perjalanan kesenian ke pelosok hingga ke kota besar.