Ragam  

Tradisi Sedekah Bumi Nyadran Masyarakat Desa Blongsong Bojonegoro

masbam990
Img 20250729 wa0024
Foto suasana masyarakat Desa Blongsong saat melaksanakan doa bersama(Tahlil) di acara sedekah bumi atau disebut nyadran.

Penulis : Rizky Zarma Ramadhani

Transbojonegoro – Tradisi secara etimologis berasal dari bahasa Latin traditio, yang berarti menyerahkan atau meneruskan. Dalam bahasa Indonesia, tradisi dimaknai sebagai adat istiadat atau kebiasaan yang diwariskan dari generasi ke generasi. Secara terminologis, tradisi merupakan suatu sistem nilai, kepercayaan, kebiasaan, serta adat istiadat yang hidup dan berkembang dalam masyarakat, dan diwariskan secara turun-temurun. Tradisi sering kali bersifat sakral dan religius, serta menjadi bagian penting dalam identitas budaya suatu komunitas.

Desa Blongsong, yang terletak di Kecamatan Baureno, Kabupaten Bojonegoro, merupakan salah satu desa yang masih memegang teguh nilai-nilai tradisi leluhur. Salah satu tradisi yang terus dilestarikan hingga kini adalah sedekah bumi atau yang dikenal secara lokal dengan istilah nyadran. Tradisi ini tidak hanya mencerminkan rasa syukur masyarakat kepada Tuhan atas hasil bumi yang melimpah, tetapi juga merupakan bentuk penghormatan terhadap leluhur dan wujud kebersamaan sosial.

Pelaksanaan Tradisi Sedekah Bumi (Nyadran) Mayoritas masyarakat Desa Blongsong, yang 99% beragama Islam, menjalankan tradisi nyadran secara rutin setiap tahun, terutama setelah masa panen, baik panen padi, jagung, kedelai, sayuran, maupun hasil bumi lainnya. Tradisi ini dilaksanakan sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah SWT atas karunia hasil panen yang mencukupi.

Prosesi sedekah bumi biasanya terdiri dari dua bagian: kegiatan pagi dan malam hari. Pada pagi hari, masyarakat secara sukarela membawa hasil panen dalam bentuk tumpeng dan gunungan—yakni sajian berbentuk kerucut dan hiasan berbentuk gunung dari berbagai bahan makanan, sayur, dan buah. Semua ini diarak dan dikumpulkan sebagai simbol persembahan rasa syukur dan solidaritas sosial.

Kegiatan pagi juga mencakup ziarah ke makam tokoh spiritual desa, yaitu Mbah Sunan Blongsong, yang diyakini sebagai murid dari Sunan Bonang. Masyarakat bersama-sama membersihkan area makam, menabur bunga, dan membaca Al-Qur’an untuk dihadiahkan kepada almarhum serta arwah leluhur lainnya.

Malam harinya, acara dilanjutkan dengan pengajian umum, tahlil, dan istighotsah yang dipimpin oleh kyai atau tokoh agama. Masyarakat membawa sedekah dalam bentuk nasi kotak atau nampan bambu berisi nasi, ayam utuh, dan lauk-pauk lainnya. Acara ini terbuka untuk umum, sehingga banyak masyarakat dari luar desa, termasuk para pejabat dan kyai, yang turut hadir dan berpartisipasi dalam kegiatan tersebut.

Nilai-Nilai Sosial dan Religius Tradisi nyadran tidak hanya memiliki dimensi ritual keagamaan, tetapi juga nilai-nilai sosial yang sangat kuat. Kegiatan ini mempererat ikatan sosial antarwarga, menciptakan rasa persaudaraan, dan meningkatkan solidaritas serta gotong royong. Kekompakan masyarakat sangat terasa dalam setiap rangkaian kegiatan, dari tahap persiapan hingga pelaksanaan acara.

Dari perspektif Islam, tradisi nyadran selama tidak bertentangan dengan syariat, merupakan bentuk ʿurf (kebiasaan lokal) yang dapat diterima. Tradisi ini bahkan menjadi sarana untuk menanamkan nilai-nilai keislaman seperti rasa syukur, sedekah, penghormatan terhadap orang tua dan leluhur, serta menjalin silaturahmi.

Menurut pandangan fikih sosial, selama sebuah tradisi membawa maslahat (kebaikan), tidak mengandung unsur kemusyrikan, dan menguatkan nilai-nilai Islam, maka tradisi tersebut bisa dijadikan media dakwah kultural (da‘wah bi al-ḥāl).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *